Sejarah Katolik di Papua di tengah perubahan dalam ‘isu hak asasi manusia’
Relasi antara gereja dan masyarakat asli Papua terlibat dalam pertempuran bersenjata pada tahun 1994 di Timika, yang terhubung dengan perusahaan Freeport-McMoRan—sekarang dikenal sebagai PT Freeport Indonesia.
Pemerintah Indonesia serta perusahaan yang melakukan penambangan emas dan tembaga telah menolak tuduhan terlibat dalam kejadian tersebut.
Yosepha Alomang merupakan wanita Amungme yang dilahirkan di Lembah Tsinga, sebuah wilayah di bawah Nemangkawi—gunung yang lebih dikenal dengan sebutan Etsberg oleh para ahli geologi dan Freeport. BBC News Indonesia menemui Yosepha pada awal bulan Agustus tahun 2024 yang lalu.
Pada bulan Oktober tahun 1994, kelima individu dari etnis Amungme telah ditahan oleh pihak berwajib.
Bulan Oktober 1994, lima warga Suku Amungme diperangkap oleh pihak berkuasa. Yosepha adalah salah satu dari mereka.
Pada malam penangkapan yang terjadi di Kwamki Lama, Yosepha mengatakan bahwa dirinya sudah tertidur pulas. Pada saat waktu yang tidak diingatnya dengan jelas, Yosepha terjaga. Anak-anaknya yang tinggal di hadapan rumahnya mendatangi dengan menangis.
Seputar enam polisi dengan senjata berdiri di belakang anak perempuannya.
«Pengubah kata» style: Sekitar enam anggota kepolisian dengan senjata berdiri di belakang anak perempuannya. Tanpa memberikan keterangan, Yosepha menyatakan bahwa dirinya diamankan dan diserahkan ke pos militer di Koperapoka.
Kau mengerti bahasa Indonesia. Aku bertanya padamu.
Mereka tak berkata begitu. Mereka dengan cepat memasuki rumah dan mengambil saya. Apakah Indonesia memiliki peraturan?» ujar Yosepha.
Keempat individu yang ditangkap oleh petugas pada malam itu adalah Matias Kelanangame, Nikolaus Magal, Julus Magal, dan Jakobus Alomang.
Mereka telah ditangkap kerana dituduh melindungi Kelly Kwalik — seorang pemimpin yang telah menyertai kumpulan tentera kemerdekaan pada tahun 1970-an.
Kelly terperangkap dalam kejadian tahun 1997, ketika gerombolan memutus pipa konsentrat Freeport dalam usaha untuk menuntut apa yang mereka anggap sebagai «ketidakadilan di tanah nenek moyang mereka».
Dari Koperapoka, Yosepha serta empat orang lainnya dibawa ke rumah panglima. Di tempat tersebut, mereka disekat di dalam dua wadah yang berbeza. Yosepha bersama-sama dengan Juliana dan Matias digabungkan dengan Nikolaus dan Jakobus.
Sebelum dimasukkan ke dalam kontainer tersebut, kata Yosepha, petugas menyalahkan Juliana sebagai ibu biologis Kelly. Juliana tidak mampu berbicara dalam bahasa Indonesia. Juliana hanya berbicara dalam bahasa asalnya.
Saya adalah ibu Kelly Kwalik, bukan mama Kelly Kwalik. Aku adalah istri dari pemimpin suku di Tsinga. Saya seorang balu,» ujar Yosepha mengulangi kata-kata Juliana.
Dari lima wong Amungme iku, Yosepha iku sing paling akhir diwawancara aparat.
«Siapa kau ini? Kau Yosepha Alomang ya? Kau ini ibu dari OPM (Organisasi Papua Merdeka),» ujar Yosepha menirukan ucapan petugas padanya.
«Saya bukan seorang pelaku kejahatan.» Kata Yosepha, «Aku warga Timika,» katanya lagi pada saat itu.
‘Kelly Kwalik tuh keponakan dari suamiku. Namun Kelly Kwalik merupakan anggota OPM di wilayah tersebut (hutan). Kita ni warga bandar,» katanya.
Pihak berwenang masih menahan mereka berdua. Yosepha dan Juliana berada di dalam tempayan yang penuh dengan sampah manusia, sepanjang sampai ke pinggul mereka. Berdua makan dan beristirahat di dalam wadah tersebut.
Dalam waktu satu bulan dan empat hari, kata Yosepha.
Pada bulan Oktober 1994, empat orang Amungme lainnya juga ditangkap aparat atas alasan yang serupa yaitu memiliki pertalian darah dan membantu Kelly. Hal ini terjadi di tengah hari-hari yang kurang lebih sama.
Ke-empat laki-laki tersebut memiliki nama kunjungi belakang Kwalik. Mereka merupakan Sebastianus, Romulus, Marius, dan Hosea. Setelah tertangkap, mereka juga dirantai di dalam peti kemas, di tempat yang serupa dengan Yosepha. Walau demikian, mereka berempat tidak pernah kembali kepada keluarga mereka.
Jalur penangkapan, termasuk kematian warga Amungme, di wilayah Mimika antara 6 Oktober 1994 hingga 31 Mei disusun dalam sebuah dokumen yang ditandatangani oleh Herman Munninghoff. Pada saat tersebut, kepala agama dari kumpulan Fransiskan tersebut menjadi pemimpin Keuskupan Jayapura.